Tanah
ini sudah kering. Aku hanya bisa menatap bayangannya.
Baiklah. Aku berbalik ke belakang. Meninggalkan semua…semua… semua…semua kenangan antara aku dan dia. Biarlah semuanya berakhir sampai di
sini.
. . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Kutelusuri
semuanya dari awal. Awal dari salah satu bagian terkenang dalam hidupku.
Awalnya aku akan memulainya dari sebuah nama, tapi apalah artinya sebuah nama.
Sebut saja dia Si Abu-abu. Dia sama
seperti kebanyakan manusia normal lainnya, namun ada satu yang spesial. Tapi,
sayangnya aku sendiri tidak tahu. Tiba-tiba saja langsung terbersit dalam benakku,
dia berbeda, dia spesial.
Aku bukanlah orang yang
mudah jatuh cinta. Tapi jika aku jatuh cinta, maka aku akan sulit
melupakannya kecuali satu hal. Jika dia sudah melupakan aku, maka semuanya telah berakhir.
Jika dia sudah melupakanku, maka untuk apa aku terus mencintanya? Siapakah yang
bisa membuatku melupakan cinta?
Menceritakan
kisahnya seperti membuka lembaran lama yang penuh rasa, Rasa cinta yang
membahagiakan sekaligus menyakitkan untuk pertama kalinya. Tapi “Si Abu-abu”
itu tak akan pernah bisa kulupakan. Makhluk aneh, unik, cerdas, misterius,
mempesona dengan caranya. Dialah cinta pertamaku di kelas 3 SD. Apa? Ya, kelas
3 SD. Entah apakah saat itu perasaanku itu normal untuk anak seusiaku. Saat itu
pun aku tidak tahu cinta itu apa. Yang aku tahu, saat aku menyadari kehadirannya adalah ketika wali kelasku di kelas 3 SD,
tahun ajaran baru, memerintahkan kami untuk duduk sebangku dengan lawan jenis.
Pagi itu adalah pagi yang dingin dan hembusan
angin yang lembut menerpa wajahku. Pada pagi hari itulah takdir mempertemukanku
dengan teman sebangku sekaligus cinta pertamaku. Ketika berbaris, aku tak
sengaja berpasangan dengannya. Dia lebih pendek daripada aku. Berkulit sawo
matang, bulu mata lentik, dan wajah yang manis. Tubuhnya kecil dan sepintas
tidak terlihat ada yang spesial dari dirinya saat itu.
Benar-benar kebetulan yang
luar biasa mengetahui bahwa ketika kami duduk sebangku, aku mengetahui bahwa dia
memiliki buku harian yang sama persis denganku, buku harian baru. Diary Mickey Mouse. Mungkin jiwa
romantisku sudah terbentuk di kala itu. Dan saat itulah aku mulai memperhatikannya. Memperhatikan apa yang
akan dia lakukan dengan diary itu.
Hari
demi hari berlalu dalam diam. Dan setiap hari pula dia membawa diary itu. Aku tak pernah menanyakan
darimana dia mendapatkannya. Untuk gadis kecil pemalu sepertiku, tidak ada
alasan untuk bertanya. Aku lebih banyak diam dan begitu pula dengannya. Dia
begitu misterius, pendiam dan serius. Aku menulis diary itu dengan
kisah-kisahku. Banyak pula kisah tentangnya. Hal yang kontras dengannya dimana
dia menggunakan diary itu untuk
membuat coretan pelajaran.
Semakin hari, semakin
terlihat kualitas yang membuatku semakin menyukainya
yaitu kenyataan bahwa dia adalah anak yang cerdas dan kami adalah rival dalam
pelajaran. Kelas 4, kelas 5, dan kelas 6 kami lalui bersama meski setelah kelas
3 kami tidak duduk sebangku lagi. Dan kian hari perasaanku kian dalam. Meski
ada teman laki-laki yang jauh lebih populer dan banyak disukai anak-anak
perempuan, entah mengapa aku tetap menyukasi si Abu-abu. Sorot matanya yang
tajam, kecerdasannya, dan sikapnya yang serius tapi santai.
Namun seiring dalamnya perasaanku, maka semakin sering juga diary itu menuliskan kisah sedih
tentangnya. Tentang perasaan yang tak diketahui apakah bersambut atau tidak.
Dia tak pernah menunjukkan sikap yang hangat dan biasa saja terhadapku. Berbeda
terhadap anak-anak perempuan lain dimana dia bisa bersikap lebih wajar.
Terkadang ada saat-saat dia membuatku kesal di kelas dan menjahiliku tanpa rasa
bersalah seperti melemparkan benda-benda ke arahku, dan memanggilku dengan
sebutan yang konyol. Ada saat-saat dimana dia tidak mengacuhkan aku, lalu kembali berbicara padaku. Dia pergi, menghilang,
lalu datang kembali. Sikapnya seperti prakiraan cuaca yang tidak bisa kutebak. Dan
tanpa kusadari, perlahan aku pun mencintainya.
Tapi mengapa aku merasa sakit. Mengapa cinta ini begitu sakit?
Bertahun-tahun tanpa tahu
apa yang dia rasakan terhadapku sungguh perasaan yang amat menyiksa. Ya, bahkan
gadis kecil berusia 12 tahun pun sudah merasakannya. Pedih…sejauh
apapun ku berlari, aku tak akan bisa menghindar. Getir…Di sudut matanya yang
dingin mungkin aku hanyalah seonggok tanah tak berarti. Hati ini tidak dapat
lagi menanggungnya. Sungguh menyakitkan didera perasaan yang tak menentu.
Dan di kelas 6, aku sudah
berada dalam tahap tak terlalu mempedulikannya. Meski ada beberapa sahabatku
yang mengatakan bahwa sebenarnya dia menyukaiku, aku tetap tak yakin. Biarlah perasaan
itu menjadi kenangan. Namun semuanya berubah ketika hari ulang tahunku di kelas
6, tiba-tiba dia memberiku kartu ulang tahun yang dititipkannya kepada temanku.
Ucapan selamat ulang tahun disertai kalimat, “just concentrate on the grey ones”. Apa arti sikapnya selama ini. Dan
jelaslah semuanya. Apa arti tatapan dingin dan sikapnya yang menahan diri. Tanpa
disadari, sesungguhnya kami berdua telah bersikap sama selama bertahun-tahun.
Saling menyukai namun menahan diri untuk menyembunyikan perasaan kami.
Kelopak bunga berwarna merah yang
tidak pernah kutahu namanya berguguran. Daunnya yang tinggal beberapa helai mencoba
bertahan di pohon yang kokoh. Cahaya abu remang-remang menimpa pucuk-pucuknya
yang lemah gemulai. Hembusan angin yang dingin mengukuhkan atmosfer yang
nyaman, santai, seakan-akan-akan aku terbius aromanya dan hatiku melayang
tinggi di angkasa. Alangkah indahnya! Aku berjalan pulang ke rumah sambil
tertawa kecil dalam hatiku. Mengetahui bahwa perasaan kami sama dan tak
bertepuk sebelah tangan memunculkan perasaan lega yang luar biasa.
Setelah itu, sikap kami masih
sama, menahan diri dengan kekaguman kami satu sama lain. Yang berbeda ketika
dulu adalah rasa malu karena menahan perasaan dan sekarang adalah rasa malu karena
kami tak tahu harus bersikap bagaimana lagi. Apa yang harus kami lakukan?
Setelah
itu aku menyadari, bahwa kehadirannya di dekatku, bisa melihatnya di sekolah,
bisa merasakan degup jantungku berdebar kencang bersama dengan perasaan bahagia
ketika dia menatapku, dan mengetahui
bahwa kami saling mencintai…
Itu
semua sudah cukup.
Kami sudah terbiasa dengan rasa
cinta dalam diam dan kami memutuskan untuk terus melakukannya. Begitulah cinta
pertama kami. Meski aku bisa melihat sorot kekecewaan di matanya mengetahui
bahwa kami akan berpisah karena memilih melanjutkan sekolah lanjutan yang
berbeda, kami tetap mengejar jalan hidup kami masing-masing. Jalan yang masih
panjang dan ada cita-cita mulia yang ingin kami raih. Dan di hari terakhir
perpisahan, kami benar-benar memutuskan untuk melupakan rasa itu, kenangan 4
tahun cinta kami yang terpendam dengan baik dan melanjutkan hidup kami tanpa
menoleh ke belakang. Kami tersenyum satu sama lain lalu bersama-sama
membalikkan tubuh kami dan bergerak menuju takdir kami masing-masing. Air
mataku berlinang ketika itu namun dia tak akan pernah tahu, begitu pula
denganku. Biarlah kenangan membahagiakan dan senyuman yang teringat dan
tertinggal di benak kami masing-masing…
_shirayuki Juni 2013_
sebuah tulisan tentang cinta pertama, yg terekam di memori, dan mungkin ada bagian yang tak sesuai kenyataan di kala itu, enjoy =)
No comments:
Post a Comment